Seri Bimbingan Perkawinan Sesi 4-5, Dinamika Perkawinan

Materi ini penulis ambil dan rangkum dari Kultwit tentang Bimbingan Perkawinan di laman Twitter @Kemenag_RI bersama dengan Dr. Thobib Al-Asyhar, M.Si. @biebasyhar dari Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama dan dosen Psikologi Islam pada Program Studi Kajian Strategis dan Global UI Salemba, Jakarta.
 
Dinamika Perkawinan


Bagi keluarga baru, masing-masing pasangan pasti merasakan ada hal yang berbeda dibanding saat masih sendiri. Jika sebelumnya masih bergantung kepada orang tua, kini dituntut mandiri dan menyelesaikan hal-hal kompleks secara bersama. Dari sinilah mulai muncul aspek "muamalah" dan "ibadah" dalam perkawinan, sehingga perkawinan disebut setengah dari agama (nishf al-din).

Sebagai penggalan dari perjalanan hidup manusia, perkawinan tentu mengalami pasang surut yang dipengaruhi oleh banyak hal. Sebagian perkawinan menjadi tidak harmonis karena pasangan tidak siap menjalani perannya dalam perkawinan. Sebagian lagi berantakan (cerai) karena suami-isteri tidak siap dengan berbagai tantangan yang datang silih berganti.

Agar kehidupan rumah tangga tetap sehat, harmonis, dan mampu menghadapi tantangan hidup, perkawinan harus ditopang 4 pilar perkawinan, yaitu: (1) hubungan perkawinan adalah berpasangan (zawaj); (2) perkawinan adalah ikatan janji bersama yang kokoh; (3) perkawinan harus dibangun dengan sikap dan hubungan yang baik (mu'syarah bil-ma'ruf); (4) perkawinan dikelola dengan prinsip musyawarah.

Berdasarkan hasil riset psikologi, setidaknya ada 3 komponen utama yg mempengaruhi bentuk dan dinamika hubungan suami-isteri, yaitu: pertama, "kedekatan emosi". Komponen ini akan menggambarkan pasangan merasa saling memiliki, saling terhubung antar dua pribadi menjadi satu yang merasa tenteram.

Komponen kedua, "komitmen", yaitu bagaimana kedua pasangan mengikat janji untuk menjaga hubungan agar lestari dan membawa kebaikan bersama. Komitmen ini akan membawa masing-masing pasangan dapat menjaga amanah, tidak mudah mengkhianati pasangannya dan tidak mudah putus asa saat dinamika perkawinan terasa amat berat.

Komponen ketiga, "gairah", yaitu menggambarkan bagaimana hubungan suami-isteri tercipta keinginan untuk mendapatkan kepuasan fisik dan seksual. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa perkawinan akan menjaga mata dan alat kelamin (organ reproduksi), karena salah satu tujuan perkawinan adalah halalnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan (bukan sesama jenis).

Dari ketiga komponen tersebut akan muncul 7 macam kondisi, yaitu:

  1. Kedekatan Emosi + Gairah + Komitmen. Kondisi ideal yang akan menciptakan sakinah, mawaddah, warahmah.
  2. Gairah + Komitmen - Kedekatan Emosi. Kondisi pasangan suami-isteri seperti ini sulit mencapai ketenteraman hati, sehingga berakibat salah satu atau kedua belah pihak merasa tidak bahagia.
  3. Komitmen + Kedekatan Emosi - Gairah. Pasangan suami-isteri yang tidak disertai gairah menjadikan kebutuhan seksual tidak terpenuhi. Sebagai individu yang sehat meski mereka memiliki komitmen hubungan yang kuat dan saling memahami antara satu dengan yang lain, cepat atau lambat, dengan tidak adanya gairah ia akan cenderung mencari pemenuhan di luar hubungan suami-isteri.
  4. Kedekatan Emosi + Gairah - Komitmen. Kondisi ini biasanya muncul pada saat pasangan sdg jatuh cinta. Perasaan menggebu mendominasi, sementara komitmen belum kuat. Jika kondisi ini berlanjut tanpa ada komitmen, maka iktikad kedua belah pihak tidak bisa dijamin, sehingga hubungan ini tidak langgeng.
  5. Kedekatan Emosi - Gairah - Komitmen. Jika yang dimiliki pasangan hanya kedekatan emosi tanpa gairah maupun komitmen diantara keduanya, maka bentuk hubungannya mirip dengan persahabatan. Mereka merasa nyaman tetapi tidak bisa mendapatkan kepuasan seksual dan jaminan jangka panjang.
  6. Gairah - Komitmen - Kedekatan Emosi. Gairah yg tinggi tanpa komitmen dan kedekatan emosi akan membuat hubungan yang tercipta hanya bersifat fisik belaka. Ini mirip hubungan dua binatang yang hanya mengadalkan instink biologis, sementara perkawinan merupakan hubungan jangka panjang yang membutuhkan komitmen. Perkawinan ini amat sangat rapuh.
  7. Komitmen - Kedekatan Emosi - Gairah. Komitmen pasangan suami-isteri adalah bentuk penghormatan kepada perjanjian yg kokoh (mitsaqan ghalidzan) di mata Tuhan. Hubungan yg tanpa kedekatan emosi dan gairah adalah hubungan yg kering (cintanya hampa/empty love). Kondisi ini rawan perselingkuhan, baik fisik maupun psikologis.
Keseimbangan antara ketiga komponen di atas tentu saja tidak kaku dan matimatis. Ada dinamika yang berubah-ubah, mengikuti dinamika perkembangan perkawinan. Suatu saat satu komponen akan terasa melemah. Apalagi mereka dalam kondisi tertentu, seperti LDR (long distance relationship) atau hubungan jarak jauh, atau bisa juga salah satu pasangan ada yang sakit kronis. 

Sekarang bagaimana cara menjaga dan memupuk ketiga komponen tersebut agar hubungan suami istri tetap seimbang dan kuat?
 
Untuk menjaga kedekatan emosi, suami dan istri harus selalu menjaga keterbukaan dan sikap saling memahami antara mereka. Banyak suami dan istri terjebak pada sikap saling menuntut dari pasangannya. Dalam perkawinan seharusnya menerapkan prinsip saling (tabadul) dan ini berarti keduanya tidak saling menunggu utk melakukannya terlebih dahulu.

Untuk menjaga komitmen tetap kokoh, masing-masing pasangan harus menjaga kejujuran dan kesetiaan, apapun yang terjadi, dan diiringi dengan sikap bertanggung jawab. Orang yang mampu menjaga komitmen sesungguhnya sedang mengamalkan teladan Nabi Muhammad, yaitu sikap amanah.

Untuk menjaga gairah sebagai kebutuhan dan dorongan yang sehat dalam kehidupan suami dan istri perlu diupayakan secara bersama karena ini bukan hanya terkait unsur fisik semata tetapi juga unsur emosional. Setiap pasangan memiliki cara yang berbeda. Banyak hal yang membatasi terjaganya gairah perkawinan, seperti kesibukan, kelelahan, kehadiran buah hati, kondisi lingkungan, dll. Beberapa cara untuk menjaganya seperti sentuhan fisik sederhana, obrolan mesra, penggunaan wewangian yang disukai pasangan, dan lain-lain.

Sekarang bagaimana tahap perkembangan hubungan perkawinan? Perkawinan adalah proses yang dinamis dan berlangsung secara terus menerus. Karena itu, hubungan perkawinan senantiasa mengalami perubahan, termasuk masing-masing pasangan bisa berubah karakternya seiring dengan waktu dan masalah yang mereka hadapi. Karena itu perkawinan harus didasarkan pada prinsip yang kokoh.

Setidaknya ada dua periode besar dalam hubungan perkawinan, yaitu: periode jatuh cinta dan periode penghancur hubungan perkawinan. Jatuh cinta adalah kondisi khusus yang tidak berlangsung lama karena seseorang mengalami ketertarikan luar biasa kepada orang lain. Perasaan-perasaan saat jatuh cinta secara perlahan akan menghilang setelah mereka mengenal dekat dan mulai membangun bersama.

Tahapan hubungan perkawinan menurut G. Marshall dalam bukunya bisa dijelaskan sesuai dengan rentang waktu. Pada usia perkawinan 12-18 bulan adalah tahap menyatu. Pada tahap ini suami dan istri menyatukan kedua pribadi. Kebutuhan pribadi belum begitu nampak karena mereka dikuasai oleh perasaan menyenangkan.

Pada usia perkawinan 2-3 tahun adalah tahap bersarang. Pada tahap ini suami-istri umumnya sudah memiliki kehidupan yang lebih ajeg dan sebagian besar memiliki anak. Beberapa masalah yang muncul adalah soal pembagian peran, masalah dengan keluarga besar, dll. Tantangannya lebih pada bagaimana mengelola perbedaan, sehingga sering muncul pertengkaran kecil/besar.

Pada usia perkawinan 3-4 tahun adalah tahap kebutuhan pribadi. Pada tahap ini kebutuhan pribadi mulai terasa semakin kuat. Kebutuhan utk ingin bersama pasangan mulai berkurang. Dalam hubungan yang kuat, suami istri tetap yakin dengan perkawinannya dan mencari titik tengah antara kebutuhan pribadi dengan keluarganya. Tantangan tahap ini adalah kemampuan dalam menjaga keseimbangan.

Pada usia perkawinan 5-14 tahun adalah tahap kolaborasi/kerja sama. Tahap ini suani istri sudah menemukan cara untuk bekerja sama dan saling memberikan dukungan. Kadang pasangan mulai lupa menghargai pengorbanan yang diberikan pasangannya. Tantangan yg muncul adalah bagaimana tetap berbesar hati untuk tidak saling mengungkung dan terus jalin komunikasi agar jarak tidak semakin lebar.

Pada usia perkawinan 15-24 tahun, yaitu tahap penyesuaian. Tahap ini suami istri sibuk menyesuaikan diri dengan tantangan hidup yang baru, seperti anak-anak mulai tumbuh besar dan mandiri. Biasanya suami/istri sudah menerima pasangan apa adanya dan menemukan cara menghadapi hal-hal yang tidak disukai pasangan. Tantangannya adalah memahami bahwa kehidupan telah banyak berubah, sehingga masing-masing harus menghindari sikap merasa benar sendiri atau paling tahu.

Pada usia perkawinan 25 tahun ke atas adalah tahap pembaharuan. Banyak pasangan usia lanjut yang menunjukkan kedekatan emosi yang kuat, dan hubungan yang romantis. Mereka menemukan kembali rasa bahagia karena memiliki cinta yang teruji dan pasangan yang bisa diandalkan. Tantangan di masa ini adalah menjaga kesabaran dalam menghadapi pasangan. Kadang kebiasaan masa mudah muncul yang sering menimbulkan ketegangan.

Sedangkan periode penghancur hubungan perkawinan muncul saat pasangan menghadapi masalah. Beberapa sikap penghancur hubungan menurut The Gottman Institute dlm The Four Hosemen yaitu: kritik pedas (sikap menyalahkan); sikap membenci dan merendahkan; sikap membela diri dan mencari-cari alasan; dan sikap masa bodo atau mendiamkan (mengabaikan). Sikap-sikap negatif itu bisa menjadi pemicu kerenggangan hubungan yg dapat merusak bangunan perkawinan.

Post a Comment for "Seri Bimbingan Perkawinan Sesi 4-5, Dinamika Perkawinan"